Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia

Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia

Indonesia memiliki banyak pejuang-pejuang Muslimah. Di artikel ini Bimbel Jakarta Timur akan menjelaskan keberanian mereka mendobrak keadaan pada zamannya, menunjukkan ternyata sebagai wanita maupun seorang Muslimah mereka pun mampu berbuat sesuatu untuk bangsanya. Keberanian para Muslimah ini dalam bidang pendidikan maupun politik tidak kalah dibandingkan laki-laki. Cerita tentang mereka dapat menjadi inspirasi bagi wanita masa kini bahwa menjadi muslimah tetap harus memiliki pengetahuan, keberanian dan mampu berguna bagi masyarakatnya tanpa meninggalkan kodratnya sebagai seorang wanita dan tetap teguh memegang iman kepada Allah SWT.


1. Sultanah Safiatudin



Tanah Aceh dikenal sebagai daerah yang berpegang pada nilai-nilai agama Islam yang kuat. Dari Aceh kita mengenal banyak tokoh muslimah yang kuat dan berpengaruh. Salah satunya adalah Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah atau biasa dikenal dengan Sultanah Safiatuddin adalah putri dari Sultan Iskandar Muda. Dilahirkan pada tahun 1612 dengan nama Putri Sri AlamSafiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.”



Beliau diangkat menjadi pemimpin, setelah suaminya, Sultan Iskandar Thani mangkat di tahun 1636. Walaupun begitu banyak pertentangan yang terjadi antar ulama, karena banyaknya pemikiran yang tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin. Namun, seorang ulama bernama Teungku Abdurrauf dari Singkil menjadi penengah dalam perdebatan ini, sehingga akhirnya semua ulama bermufakat mengangkat Safiatuddin sebagai sultanah Aceh.


Beliau sangat memperhatikan perkembangan pendidikan keagamaan, dan perekonomian di kerajaannya. Bahkan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita. Dia akhirnya wafat pada tanggal 23 Oktober 1675, dan selanjutnya tampuk kekuasaan diberikan kepada Sultanah Naqiatuddin Syah.



2. Laksamana Malahayati


Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia
Laksamana Malahayati

Tanah Rencong mencatatkan nama seorang wanita pemberani bernama Laksamana Malahayati. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.


Bukan hanya seorang panglima perang, Malahayati juga seorang diplomat. Saat itu setelah pertempuran melawan armada Belanda, hubungan Aceh dan Belanda sempat tegang. Prins Maurits, yang memimpin Belanda saat itu berusaha memperbaiki hubungan. Maka dikirim utusan ke Aceh, dan Malahayati ditugaskan oleh Sultan untuk melakukan perundingan-perundingan awal dengan utusan Belanda, hingga tercapai sejumlah persetujuan. Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.


Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh. Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak catatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India. Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.


3. Cut Nyak Dhien

Tjoet Nja’ Dhien (Cut Nyak Dien) lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Cut Nyak Dhien dijodohkan dengan Teuku Ibrahim dan mempunyai satu anak laki-laki. Teuku Ibrahim adalah seorang pejuang Aceh dan Cut Nyak Dhien mendukung sepenuhnya perjuangan suaminya melawan belanda.

Karena kekalahan dalam persenjataan dari Belanda juga pengkhianatan dari orang Aceh sendiri maka banyak daerah kekuasaan Aceh yang jatuh ke tangan Belanda. Dalam suatu pertempuran Teuku Ibrahim dan pengikutnya gugur. Menjadi janda dalam usia muda tidak menyurutkan semangat Cut Nyak dhien untuk terus berjuang melawan penjajahan Belanda. Ia menikah dengan Teuku Umar, seorang pejuang Aceh yang dapat menebus kematian suaminya. Bersama Teuku Umar, Cut nyak Dhien melanjutkan kembali perjuangan dengan semangat fi sabilillah. 

Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar)

Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan taktik mendekati Belanda. Ia mendekati dengan taktik agar belanda percaya padanya sehingga diberikan posisi yang strategis untuk menguasai pasukan dan persenjataan. Walaupun dituduh pengkhianat oleh orang Aceh, teuku Umar merahasiakan taktiknya. Ia mengganti posisi-posisi penting dalam unit-unit pasukan belanda dengan orang Aceh. Ketika dirasa sudah cukup kuat, teuku Umar membuat rencana palsu kepada Belanda dengan mengatakan akan meyerang basis pejuang Aceh. Padahal dengan begitu Teuku Umar, Cut Nyak Dhien beserta orang-orang Aceh yang telah ditempatkan dalam pasukan dapat membawa pergi perlengkapan persenjataan serta amunisi Belanda. 

Pengkhianatan ini membuat belanda marah besar dan berusaha mengejar teuku Umar dan Cut Nyak dhien sebagai penjahat besar. Tapi Umar dan cut Nyak Dhien malah berhasil menekan dengan bekal perlengkapan yang mereka dapatkan. Belanda mulai menyewa orang Aceh untuk menjadi mata-mata pasukan. Mata-mata membocorkan informasi rencana Teuku Umar untuk merebut Meulaboh.


Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar  gugur meninggalkan Cut Nyak Dhien kembali menjadi janda. Cut Nyak Dhien meneruskan perjuangan memimpin pasukan.Ia tidak memiliki apa-apa kecuali semangat berjuang melawan kafir Belanda. Seringkali ia tidak bertemu nasi untuk dimakan sehingga harus bertahan dengan memakan pa yang ada di dalam hutan. 

Usia yang semakin tua dan mulai didera penyakit membuat perjuangannya mengendur. Pasukan sedikit-sedikit meninggalkannya karena kasihan. Panglimanya mulai berpikir menyerah kepada Belanda karena tidak tega melihat keadaannya. Walaupun Cut Nyak Dhien menolak untuk menyerah kepada kafir.Pang Laot Ali sang panglima, membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata “Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.

4. Cut Meutia

Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang. Akan tetapi Cut Meutia tidak mengalami kecocokan dengan teuku Syamsarif yang sangat dekat dengan Belanda. Cut meutia meminta diceraikan lalu kembali ke rumah orangtuanya. 

Ia kemudian ikut ayah dan saudara-saudaranya untuk berjuang melawan Belanda. Awalnya Teuku Ben Daud tidak mengizinkan karena ia seorang janda. Lalu ia dinikahkan dengan Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong dan ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya tersebut. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Pang Nanggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910. Cut Meutia tetap melanjutkan perlawanan bersama pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial Belanda. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.

5. Pocut Baren


Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia
Pocut Baren
Pocut Baren lahir pada tahun 1880 di Kabupaten Aceh Barat. Ia merupakan anak perempuan seorang uleebalang Teuku Cut Anmat Tungkop sebuah kemukiman di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat. Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Tetapi suaminya tewas tertembak dalam perjuangan melawan Belanda. Setelah suaminya tewas kemudian Pocut Baren menggantikan suaminya sebagai uleebalang.

Pocut Baren pernah berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien maupun dengan pasukannya sendiri. Akibat serangan gencar Belanda, Pocut Baren pernah terdesak ke pedalaman hutan dan memutuskan bermarkas di sebuah gua di Gunong Mancang.  Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Pocut Baren sendiri terkena peluru di kakinya sehingga perlawanannya terpaksa berhenti. Ia lalu ditahan di Kutaraja, namun anak buahnya tetap melakukan perlawanan.

Setelah penangkapannya oleh Belanda, dia dipindahlan ke Kutaraja. Kakinya yang tertembak karena tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi. Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.

 Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.

Disamping gagah berani di medan perang ternyata ia juga cerdas di bidang pemerintahan, pertanian, dan kesusateraan. Tak heran jika rakyatnya sangat menghormati dan mencintainya. Dibawah kepemimpiannnya Tungkop menjadi daerah yang makmur. Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan menjadi daerah yang aman dan makmur membuat pemerintah Belanda yang membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Seorang Komandan belanda menghadiahinya kaki palsu terbuat dari kayu yang didatangkan langsung dari belanda. Pocut Baren meninggal pada tahun 1933 dan dimakamkan di kampung halamannya, Kemukiman Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat.


6. Rahmah El Yunusiyah


Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia
Rahmah El Yunusiyah
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia-Belanda, 29 Desember 1900.  Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi. Ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang, menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka sewaktu Revolusi Nasional Indonesia.

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia.
Sewaktu pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Keberadaan Diniyah Putri kelak menginspirasi Universitas Al-Azhar membukaKulliyatul Lil Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Dari Universitas Al-Azhar, Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syaikhah"—yang belum pernah diberikan sebelumnya—sewaktu ia berkunjung ke Mesir pada 1957, setelah dua tahun sebelumnya Imam Besar Al-Azhar Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyah Putri. 
Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat masyarakat memandang kurang perlunya pendidikan bagi perempuan. Rahmah melihat bahwa perempuan tertinggal dari laki-laki, berada dalam kebodohan dan kepasrahan pada keadaan sehingga masyarakat pada umumnya termasuk perempuan sendiri mengganggap diri mereka makhluk yang lemah dan terbatas. Ia menginginkan setiap wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangga dan masyarakat. Hal itu menurutnya hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Meski menolak pembatasan mencari ilmu bagi perempuan, Rahmah menolak emansipasi seperti yang digaungkan oleh feminis. Sarah Larasati Mantovani dari Universitas Muhammadiyah Surakarta menulis, Rahmah ingin perempuan tetap pada fitrahnya dan anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak. Ia tetap memasukkan pendidikan rumah tangga seperti menjahit, memasak dan keterampilan rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum sekolahnya.
Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Zamzami Kimin menulis bagaimana Rahmah memberikan perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara penjual yang satu lagi menutupi jualannya itu dengan rapi, takut dihinggapi debu yang berterbangan. "Kalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli," tulis Zamzami menirukan ucapan Rahmah.

7. Hj.Rangkayo Rasuna Said 


Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia
Hajah Rangkayo Rasuna Said

Hajjah Rangkaayo Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatera barat pada tanggal 15 September 1910.  Ia merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.
Rasuna Said menamatkan SDnya lalu melanjutkan pendidikan di pesantren dan diniyah putri di Bukittinggi. Disana ia belajar tentang banyak hal. Ia juga mulai mempelajari dan memperdalam masalah agama islam dari gerakan tahwalib. Gerakan islam yang banyak dipengaruhi oleh gerakan nasionalis islam Turki pada masa itu. Ia tidak hanya memahami soal agama atau pengetahuan umum saja namun ia juga tertarik dengan politik. Ketika di membantu mengajar di diniyah putri sebagai guru ia banyak mengajarkan wanita tentang pendidikan sebagai fondasi akan kemajuan wanita di tanah Minang itu.
Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik.
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktifitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) diBukittinggi pada tahun 1930. Rasuna Said juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi. Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Rasuna Said sempat di tangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail, dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.
Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri
Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok". Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial. 
Akan tetapi, koranMenara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. 


Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya, 2 November 1965 di Jakarta.


8. Rohana Kudus



Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia
Rohana Kudus
Rohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884 dan meninggal pada 17 Agustus 1972 di Jakarta. Ayahnya bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan sedangkan ibunya bernama Kiam. Nama Kudus sendiri diambil dari nama suaminya, Abdul Kudus. Rohana Kudus juga merupakan kakak tiri (saudara seayah) dari Sutan Sjahrir. Ayahnya menikah dengan ibu Sjahrir setelah ibunya meninggal. Rohana juga merupakan sepupu Haji Agus Salim, karena kakek Rohana dan Agus Salim saudara kandung . Beliau juga memiliki keponakan seorang  penyair terkenal yaitu Chairil Anwar.

Ia tidak bersekolah, karena umumnya perempuan Minangkabau waktu itu tidak dikirim ke sekolah formal. Meski demikian ia gemar belajar dengan membaca buku dan Koran. Sejak usia 8 tahun ia sudah mahir menulis dalam Bahasa Melayu, Arab, dan Arab Melayu dan kegiatannya tersebut terus berlanjut hingga dewasa. Dari seorang tetangganya yang merupakan seorang istri pejabat Belanda Rohana diajarkan keterampilan perempuan seperti menjahit, menyulam, merenda, merajut. Tak hanya itu, Rohana pun dikenalkan dengan berbagai majalah berbahasa Belanda.

Saat berumur 24 tahun Rohana menikah dengan Abdul Kudus, keponakan ayahnya. Dia seorang aktivis dan notaris yang sering menulis kritik terhadap pemerintah Belanda di koran-koran lokal. Suaminya adalah orang yang berpikiran maju. 
Pada 1911 Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah keterampilan untuk perempuan agar bisa baca-tulis, menjahit, menyulam. Disana diajarkan pula pengetahuan umum dan pengetahuan agama. 
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.

Pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi. Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”. Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali.




Dengan kepandaian dan kepopulerannya Roehana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tetapi ada juga laki-laki. Roehana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Roehana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Roehana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.

Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Roehana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. 



Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatera. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.

9. Nyi Ageng Serang


Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi atau biasa disebut Nyi Ageng serang lahir pada tahun 1752 dari keluarga bangsawan yang patriotik. Nama Serang di belakang namanya diambil dari nama daerah tempat ia lahir yaitu sebuah desa di sebelah utara Solo dekat Purwodadi Jawa Tengah. Beliau adalah putri bungsu dari Bupati Serang, Pangeran Natapraja yang juga merupakan panglima perang dari Pangeran Mangkubumi.  Nyi ageng serang merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga. 

Meskipun seorang bangsawan, beliau sangat dekat dengan rakyat kebanyakan. Selain itu ia juga suka mengikuti latihan-latihan militer dan siasat perang. Ia sering ikut ayahnya untuk turun ke medan perang melawan Belanda. Beliau juga terampil dalam berbagai bidang dan teguh pada imannya terhadap Allah SWT. 

Berakhirnya perjuangan Pangeran Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, membuat pasukan Serang terdesak dan banyak yang gugur. Nyi Ageng Serang tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta tetapi kemudian dibawa kembali ke Serang, sedangkan ayahandanya sudah semakin tua hingga akhirnya wafat. 

Memasuki abad ke 19, pengaruh belanda semakin kuat. Keadaan rakyat semakin sengsara, Belanda merampas tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan milik pengusaha-pengusaha Eropa. Selain itu, bangsawan dalam kerajaan terpecah ada yang mendukung Belanda dan ada yang anti Belanda. Salah satu yang anti terhadap belanda adalah pangeran Dipponegoro yang tidak suka melihat bangsawan merendahkan diri pada penjajah. 

Ketika terjadi perang Diponegoro (1825-1830), Nyi ageng serang telah lanjut usia yaitu 73 tahun. Tetapi itu tidak menyurutkan semangatnya untuk melawan Belanda. Beliau memimpin pasukan walau dengan ditandu dan didampingi cucunya Raden Mas Papak. beliau diangkat sebagai penasehat oleh Pangeran diponegoro. Nasihat-nasihat dan strategi yang beliau berikan diikuti oleh Pangeran Diponegoro. 

Karena kondisi yang sudah lemah dan tua, beliau mengundurkan diri dari medan pertempuran dan pasukan yang dipimpinnya diambil alih oleh sang cucu raden mas Papak. Beliau menemati rumah keluarga Natapraja di yogyakarta hingga wafat pada usia 76 tahun.

10. Dewi Sartika


Tokoh perintis pendidikan kaum wanita ini lahir di Cicalengka, Bandung tanggal 4 Desember 1884. Dewi Sartika lahir dari keluarga priyayi sunda, ibunya Nyi Raden Rajapermas dan ayahnya yang merupakan pejuang kemerdekaan Raden Somanagara. 

Orangtuanya menyekolahkan Dewi Sartika ke sekolah Belanda, tetapi sepeninggal ayahnya beliau dirawat oleh pamannya seorang patih di Cicalengka yang memberikan pendidikan sesuai budaya Sunda. Sejak kecil beliau sudah tertarik dengan belajar mengajar. Ia sering berperan sebagai guru ketika sedang bermain bersama teman-teman perempuan sebayanya. Beliau juga mengajari anak-anak pembantu di kepatihan. 

Pada tahun 1904 beliau membuat sekolah khusus perempuan yang didukung oleh kakeknya seorang bupati R.A Martanegara. Sekolah tersebut diberi nama Sakola Istri, tetapi hanya terdiri dari dua kelas hingga tidak dapat menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk aktivitas lain, beliau meminjam ruangan di Kepatihan Bandung. Para murid Sakola istri belajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama. 

Sakola Istri semakin berkembang dan mendapat perhatian positif dari masyarakat sehingga murid-muridnya bertambah banyak dan ruangan yang ada tidak dapat menampung. Sekolah kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas dan diganti namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1910. Sebelumnya, pada tahun 1906 Dewi Sartika menikah dengan  Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seorang  yang memiliki visi misi yang sama dalam memperjuangkan pendidikan. 

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". 

Dewi wafat pada 11 September 1947. Sebelumnya Dewi Sartika ikut mengungsi bersama-sama para pejuang yang terus melakukan perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah terjadi Agresi militer Belanda tahun 1947.

11. Opu Daeng Risadju


Muslimah-muslimah Hebat Di Masa Perjuangan Indonesia
Opu Daeng Risadju
Wanita bernama kecil Famajjah ini lahir di Palopo pada tahun 1880 dari pasangan  Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah To Barengseng. Nama Opu Daeng Risaju adalah gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan setelah menikah dengan suaminya H Muhammad Daud.  

Opu Daeng Risadju tidak pernah mengecap pendidikan barat, sebagai bangsawan ia mendapatkan pendidikan moral baik yang berdasarkan budaya maupun agama. Sejak kecil beliau biasa membaca Al Qur'an dan mempelajari ilmu-ilmu keagamaan seperti nahwu, syaraf dan balagah. Suami Opu Daeng Risadju adalah seorang ulama yang pernah tinggal di Mekkah. Karena pengetahuan agamanya yang luas, H Muhammad Daud diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. 

Pada tahun 1927, Opu daeng Risadju ikut menjadi anggota Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang kemudian mendirikan cabang PSII Palopo yang diresmikan pada 14 Januari 1930. Kegiatannya dalam PSII dianggap sebagai duri dalam daging oleh pemerintahan Belanda yang menguasai Luwu. Akhirnya Controleur Masamba menangkap beliau bersama sekitar 70 anggota PSII dan dimasukkan ke dalam penjara Masamba dengan maksud mengurangi aksi-aksi perlawanan mereka dan membatasi perluasan anggota PSII. Gelar kebangsawanan Opu Daeng Risadju dicabut oleh Belanda dan ditahan selama 14 tahun. 

Saat tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) datang di  Sulawesi Selatan untuk menjajah Indonesia kembali setelah pendudukan Jepang, semangat perlawanan Opu Daeng Risadju kembali berkobar. Pemberontakan terhadap NICA mulai terjadi pada saat tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Merasa tidak puas dengan ini, tentara NICA kemudian mendatangi masjid dan menginterogasi orang-orang di dalam masjid. Akan tetapi, karena masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, NICA memutuskan untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran.

Melihat hal ini, para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA di Palopo untuk segera kembali ke tangsinya dan tidak berkeliaran di kota. Karena ultimatum ini tidak digubris oleh tentara NICA, timbullah konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dan para pemuda pada tanggal 23 Januari 1946. Konflik senjata ini kemudian merambat ke kota-kota lainnya di Palopo, salah satunya ialah kota Beloppa tempat Opu Daeng Risadju tinggal.
Opu Daeng Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA. Tindakan ini membuat tentara NICA kewalahan dan mengupayakan berbagai cara untuk menangkap dan menghentikan aksi Opu Daeng Risaju. Tentara NICA bahkan membuat pengumuman yang menyatakan bahwa pihak tentara NICA akan memberikan imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju yang kala itu sedang bersembunyi, baik dalam keadaan hidup atau pun mati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menggubris pengumuman tersebut.
Keberadaan Opu di Latonro diketahui oleh mata-mata NICA, beliau kemudian ditangkap dan dibawa menuju Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo.
Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risadju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang pro NICA yaitu Ladu Kalapita. Beliau dipaksa berlari mengelilingi lapangan dan berdiri menghadap matahari. Kalapita kemudian mendekat ke arah Opu Daeng Risadju lalu meletakkan senapan di pundak wanita yang saat itu berumur 67 tahun. Ia meletakkan laras senapan ke pundak beliau dan meletuskan senapannya. Opu Daeng Risadju jatuh tersungkur ke kaki Kalapita yang kemudian menyepaknya.Setelah itu Opu daeng Risadju dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah. Akibat penyiksaan itu, Opu Daeng Risadju mengalami tuli seumur hidup. 
Opu Daeng Risadju kemudian dibebaskan setelah dipenjara selama 11 bulan tanpa diadili, kembali ke Bua lalu menetap di Belopa. Pada tahun !949 ia pindah ke Pare pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud. Ketika putranya meninggal dunia, beliau kembali ke Palopo hingga tutup usia pada tanggal 10 Februari 1964 dan dimakamkan di Lokke yang merupakan makam kerajaan Luwu

12.Siti Aisyah We Tenriolle


Siti Aisyah We Tenriolle adalah tokoh emansipasi wanita yang berasal dari suku Bugis, di Tanete, Sulawesi Selatan, Indonesia. Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) Kerajaan Tanete (kini Barru), Sulawesi Selatan pada tahun 1855-1910. Selain menguasai Kerajaan Tanete, Siti Aisyah We Tenriolle juga menguasai Kerajaan Bugis. Berkat kontribusi Siti Aisyah We Tenriolle dalam menerjemahkan mahakarya epos La Galigo dari bahasa Bugis kuno ke bahasa Bugis umum, Tanete memperoleh popularitas hingga samudra dan benua Eropa.

Pada saat itu sedang terjadi perselisihan antara Belanda dan Raja Tanette yang bernama La Patau. Akibat perselisihan itu, Belanda dengan kekuasaannya menurunkan tahta La Patau dan mengasingkannya keluar dari Sulawesi Selatan.. Sebagai pengganti raja yang berikutnya Belanda mengangkat La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara, yakni kakek Aisyah. Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat kuat dalam Kerajaan Tanette sebagaimana juga pada Kerajaan GoaTallo, dan Bone.  Walaupun begitu, La Rumpang tak menutup diri dari asing dan menjalin persahabatan dengan asing, yakni B.F Matthes dan Ida Pfeiffer. B.F Matthes adalah orang Belanda dan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang singgah di Tanette. Saat La Rumpang sudah berusia lanjut, dia memutuskan untuk turun tahta dan menunjuk Siti Aisyah We Tenriolle, cucunya sebagai penggantinya.

Saat memerintah Kerajaan Tanette, Aisyah berusaha mempertahankan pola patron-klien dengan penjajah Belanda agar dapat mempertahankan keberlangsungan kehidupan masyarakat Tanette. Aisyah menyadari betapa terhinanya hidup dalam kungkungan penjajahan formal. Namun, hal ini dilakukan untuk kestabilan kerajaan. Menurutnya, tak ada guna melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda, karena Belanda mempunyai sistem persenjataan dan kekuatan militer yang tak bisa ditaklukan.
Siti Aisyah We Tenriolle memerintah Kerajaan Tanette dengan kondisi politik dan ekonomi yang stabil selama 55 tahun. Siti Aisyah We Tenriolle memanfaatkan masa pemerintahannya dengan berkonsentrasi pada pendidikan dan kesusastraanAisyah sangat menyukai buku-buku sastra dan menguasai epos La Galigo yang berbentuk puisi. Melalui kekuasaanya Aisyah berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terpisah di kerajaan Goa, Tallo, dan Bone. Bersama ibunya, Aisyah menyelami dan mengumpulkan sastra-sastra kuno, seperti manuskrip I La Galigo yang berbentuk daun-daun lontar selama 20 tahun.

 Aisyah dibantu oleh BF Matthes, peneliti Belanda yang diutus oleh Nederlandsch Bijbelgenootschaap (sebuah lembaga peneliti kitab-kitab kuno) dan ibundanya. BF Matthes menerbitkan transliterasi La Galigo dalam aksara Bugis dan terjemahan bahasa Belanda dalam buku:Boeginesche Chrestomathie jilid II tahun 1872. Aisyah mempunyai peranan yang sangat dominan, kemampuannya dalam membaca dan memahami bahasa Bugis kuno dalam bait-bait epos La Galigo yang tersusun dalam 300,000 larik telah mempermudah pekerjaan BF Matthes dalam menerbitkan buku.  Karya terjemahan Siti Aisyah We Tenriolle kini disimpan di Universitas Leiden, Belanda dan menjadi rujukan penilitian mengenai wiracerita terpanjang di dunia. Hingga kini Siti Aisyah We Tenriolle, BF Matthes dan ibunda Aisyah menjadi pahlawan pelestari sastra lokal Bugis.

Dengan kemampuan sastra dan pergaulannya dengan BF Matthes dan Ida Pfeiffer, Siti Aisyah We Tenriolle menyusun langkah strategis untuk memajukan kehidupan bangsa Tanette melalui pendidikan.  BF Matthes mendirikan sekolah hanya untuk laki-laki, bangsawan, dan kaum kaya. Aisyah mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan modern rakyat yang terbuka untuk semua kalangan masyarakat, baik anak perempuan maupun laki-laki pada tahun 1908. Hal itu dilakukan Aisyah agar masyarakat bawah juga dapat mengikuti pendidikan tanpa diskriminasi ekonomi, sosial, dan gender.bSekolah rakyat yang didirikan oleh Aisyah tak pernah mendapatkan bantuan dari Belanda. Ide Aisyah akan sekolah rakyat ini adalah yang pertama di jazirah Sulawesi Selatan kala itu.

https://www.radarhot.com/2017/04/muslimah-muslimah-hebat-di-masa.html

Posting Komentar

0 Komentar